BANYUWANGI DANCE MUSIC



Gambar diatas hanya contoh kekayaan lokal di wilayah musik joget, di satu kabupaten saja. Tentu agak sulit menemukan yang benar-benar tradisi, hampir semua varian adalah kontemporer. Di setiap kabupaten/wilayah di Indonesia kurang lebih memiliki kekayaan yang hampir serupa. So, berapa jumlah varian musik joget di Indonesia? Wah...siapa yang bisa jawab.

This map is just an example of local diversity in the dance music scene of one district. It is rather difficult to find a true tradition, almost all variants are contemporary. I think it's almost similar to the other kabupaten/district/region in Indonesia. So, how many variants of dance music in Indonesia? Wow ... who can answer this?

Darimana memulainya? Saya mulai dari Gandrung, yang adalah musik joget/tari paling tua di Banyuwangi. Gandrung adalah budaya hybrid, pengaruh Hindu Jawa, Bali dan Islam bahkan hingga budaya mistik bercampur aduk dalam irama tari hiburan sekaligus sakral. Di era 80-90an, Banyuwangi memiliki budaya musik joget yang juga besar. Kendang kempul. Diprakarsai oleh Bung Sutrisno dari Genteng, Banyuwangi. Kendang Kempul adalah hasil tabrakan antara Dangdut Klasik dan Gandrung (serta berbagai pengaruh lainnya). Gelombang terakhir adalah Dangdut/Koplo Banyuwangian. Karena muncul di era sekarang, sangatlah mudah untuk melacaknya. Reggae hingga EDM, dihantamkan dengan Dangdut/Koplo, Angklung, Gandrung, Janger hingga Metal Jawa Timuran. Tidak semuanya dipetakan, ini hanya sampel. Lagu lagu/langgam berbahasa Using juga bisa disebut Banyuwangen saja.

Where did I start? I started from Gandrung, which is the oldest dance music in Banyuwangi. Gandrung is a hybrid culture. The influence of Javanese Hinduism, Bali, and Islam, even to the mystical culture were mixed together, created a dance for the ritual and entertainment purposes. In the 80-90s era, Banyuwangi also had a big dance music scene, Kendang kempul. Initiated by Bung Sutrisno from Genteng, Banyuwangi. Kendang Kempul is a collision between Dangdut Klasik and Gandrung (as well as various other influences). The last wave is Dangdut / Koplo Banyuwangian. Because it develops in the current era, it is very easy to trace the influences. Reggae to EDM, mixed together with Dangdut / Koplo, Angklung, Gandrung, Janger to Metal Jawa Timuran. Songs / Langgam that use 'Using' language (specific language in the region) can also be called Banyuwangen.

Varian varian yang lebih modern, memiliki sifat/bentuk yang cair, tidak terbelenggu oleh batasan genrenya sendiri. Sangatlah mustahil menemukan bentuk yang kaku disana. Mereka sangat mudah beranak pinak, bergabung atau menjadi fenomena yang lain. Jadi saya justru percaya klasifikasi disini justru lebih berfungsi sebagai tolak ukur kreativitas daripada penjara, dan tentu konsep klasifikasi ini jelas memiliki logika yang berbeda dengan konsep umum atas genre yang kita tahu. Pun kita juga tidak bisa memisahkan hubungan antara musik, tari, teater, dll disini. Peta musik nya sendiri juga akan cair, bisa berubah setiap saat bahkan dalam waktu yang cepat. Saya pun menerjemahkan Dance Music Indonesia menjadi musik Joget, karena Joget lebih cair, spontan sesuai dengan sikap musiknya juga.

The modern variants are more flexible. They are not bound by their own genre boundaries. It is impossible to find a rigid genre. They are very easy to breed, mixed, or become another phenomenon. So I believe that classification here actually functions as a milestone of creativity than a prison. Of course, the concept of music classification clearly has a different logic than the general concept of the genre that we know. Nor can we separate the relationship between these musics and other art forms, like dance or theater. The music map itself, is also flexible, can change at any time, even in a rapid course.

Apakah wilayah lain akan seperti ini? Jangan bilang Bandung atau Palembang ahistoris dong. Kalo dipetakan mereka mungkin justru lebih kaya (baik secara tradisi maupun kontemporer). Ada berapa jenis Tarawangsa di Jawa Barat? Kalo dipikir-pikir alat geseknya aja udah ada jauh sebelum rebab masuk Indonesia. Belum lagi ragam Kecapi Suling hingga Pongdut, dan sebagainya. Industri emang berupaya menyederhanakan keragaman, inferioritas emang bisa bikin self denial.

Sebelum varian-varian ini digeneralisasi menjadi world music, musik tradisi atau etnik, lebih baik ia diklaim duluan. Karena mereka jelas sudah punya nama dan sejarah, sekalipun hybrid. Sejarah musik sebenarnya hanyalah hasil klaim, atas nama strategi kebudayaan, resistansi budaya maupun industri. 1 dari 3 alasan diatas sudah cukup kuat untuk memberi label yang distinctive pada produk lokal. Penamaan ini ya dari orang lokal sendiri (note: di setiap kecamatan mungkin bisa juga berbeda nama), bukan saya, mungkin karena mereka tahu pentingnya (sejak jaman dahulu kala) melestarikan atau menjaga identitas lokal (note: identitas lokal tidak melulu tentang tradisi).

Koplo, pada awalnya adalah gerakan membebaskan diri dari pakem Dangdut Klasik yang kaku. Mbak Inul (oh mas Adam dengan kumisnya yang war binasa) tidak perlu menunggu izin/legitimasi dari sang raja Dangdut Rhoma Irama untuk mengklaimnya dan tidak perlu menunggu adanya industri besar yang merangkulnya sejak awal.

Before these variants are generalized into the term of world music, traditional or ethnic music, it is better to claim first. Because they already have names and history. Music history is just the result of many claims, on behalf of cultural strategy, cultural resistance or industrial. 1 of the 3 above are strong reason to give distinctive labels to local products. This label is from the local people themselves (note: in each district may also be different names), not me, maybe because they know (since ancient times) it is very important to protect and preserve local identity (note: local identity is not always about tradition). Koplo, in the beginning, was a movement to break free from the Dangdut Klasik rules. Inul Daratista does not need to wait for permission / legitimacy from the Dangdut Klasik legend (Rhoma Irama) to claim it. 

NB: Bagaimana dengan musik (sedang/dalam fase) eksperimental di daerah Banyuwangi ini? Kalo mau eksperimental, atau idenya lebih universal, ya nggak usah atau buru-buru dikasih label. Kecuali mau bikin klaim dengan nama daerah (terinspirasi dari fenomena lokal), misal Noise Banyuwangi, karena ada sekumpulan anak noise yang mengolah bunyi dari pukulan atau alat-alat Gandrung. Punk Banyuwangi, mungkin karena drumnya mau mengolah beat super cepat Kuntulan, atau Musik Tik-tok Banyuwangian, karena tik-tokan pakai bahasa Using, ha ha ha. Silakan aja.

Yennu Ariendra

Banyuwangi Koplo Hip-Hop/EDM


Dangdut/Koplo Banyuwangian


Reggae-dut Banyuwangian


Kendang Kempul


Dangdut/Koplo/Kendang Kempul Kuntulan


Gandrung


Kuntulan